Zaman boleh berputar ribuan kali, teknologi bisa berubah dalam hitungan detik, tapi ada sesuatu dari masa lalu yang tak pernah lapuk dimakan waktu. Cerita 1400 tahun lalu, tentang seorang manusia mulia bernama Muhammad, masih mengetuk hati kita hari ini. Bukan karena ia kisah kuno, tapi karena ia kisah manusia. Kita hidup di era yang cepat. Notifikasi berdenting lebih keras dari suara hati. Tapi justru di tengah riuh inilah, kisah Rasulullah hadir sebagai jeda. Ia bukan sekadar cerita sejarah, tapi cermin bening yang menunjukkan siapa diri kita sebenarnya, dengan segala resah, tanya, dan harap yang kita bawa diam-diam.
Gen Z dan milenial tumbuh di dunia yang penuh pertarungan citra. Semua ingin terlihat baik, kuat, bahagia. Tapi di balik layar itu, ada hati yang rapuh, jiwa yang bertanya Apa arti semua ini?, Siapa yang benar-benar paham rasa sepi di keramaian?. Lalu, kisah 1400 tahun lalu itu menjawab, tanpa menggurui. Rasulullah pun pernah sendiri, pernah ditolak, diremehkan, bahkan dicaci. Tapi ia tidak membalas dengan benci, ia menjawab dengan cinta. Di situ kita merasa dekat. Karena ternyata, beliau pernah berada di tempat gelap yang sama dengan kita, tapi ia memilih menjadi cahaya bagi dunia.
Kita sering takut gagal, takut tidak cukup, tapi Rasulullah mengajarkan bahwa tidak apa-apa jatuh, asal tetap belajar berdiri. Ia tidak sempurna dalam ujian hidupnya, tapi ia sempurna dalam caranya mencintai, memahami, dan memaafkan. Dan bukankah itu yang paling kita butuhkan hari ini?. Cerita beliau bukan tentang masa lalu. Tapi tentang jiwa manusia yang selalu sama. Tentang rindu akan makna, tentang perjuangan melawan ego, tentang menyembuhkan luka tanpa harus menyakiti. Tentang mencintai tanpa harus memiliki. Semua itu terasa begitu dekat, begitulah kita seharusnya.
Mungkin itulah sebabnya, cerita 1400 tahun lalu ini masih hidup, karena ia tak hanya ditulis di kitab, tapi di hati manusia. Setiap air mata Siti Khadijah, setiap pelukan Bilal, setiap senyum Rasulullah, bukan hanya potongan kisah, tapi lembar-lembar jiwa yang bisa kita baca kapan saja, saat kita lelah menjadi kuat. Di tengah dunia yang menuntut kecepatan, kisah beliau mengajak kita memperlambat. Untuk merasa, untuk merenung, untuk memeluk diri sendiri yang terluka dan berkata, “Rasulku pun pernah letih, tapi ia tak menyerah.”. Dan dari situ, kita belajar tentang harapan yang tak pernah padam.
1400 tahun adalah waktu yang panjang, tapi rasa takut, cinta, kehilangan, dan pengharapan, tetap sama. Karena hati manusia tak pernah berubah. Dan di sanalah cerita Rasulullah tetap relevan bukan karena ia kisah heroik yang agung, tapi karena ia kisah manusia yang menghidupkan hati. Jadi jika kamu merasa kisah itu terlalu jauh, terlalu tua, terlalu tak terkait, berhentilah sejenak. Dengarkan kembali dengan hati yang pelan. Karena bisa jadi, yang kamu cari hari ini, sudah pernah dijawab oleh seseorang yang hidup berabad-abad lalu dengan cinta yang tak pernah lekang oleh zaman.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.



